Mengapa kita perlu mempelajari sejarah ?
Sejarah bangsa Yahudi bukan hanya mengajarkan bagaimana kita bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan2 di masa lampau, tetapi juga membuat kita mengerti kemana hidup kita diarahkan (takdir hidup kita).
Serial kupasan sejarah Yahudi ini, dirancang untuk memberikan pemahaman dasar, dari keseluruhan sejarah bangsa Yahudi yang sudah berjalan kurang lebih 4000 tahun, dan masih terus berlanjut sampai saat ini.
Biasanya, ketika mendengar kata “sejarah”, kebanyakan orang sudah gemetar, keluar keringat dingin. Yang terbayang adalah apa yang pernah terjadi ketika masa-masa sekolah, dimana sejarah diasosiasikan dengan hapalan : nama-nama tokoh, tanggal-tanggal penting, tempat dan kejadian yang hanya dihapalkan untuk kebutuhan ujian, yang dengan segera dilupakan begitu ujian selesai. Mungkin inilah yang membuat Mark Twain mengatakan : “Saya tidak akan pernah mengijinkan sekolah saya mengganggu pendidikan saya”.
Jadi, sebelum kita mulai membicarakan sejarah Yahudi, ada baiknya kita membahas sedikit mengenai apa pentingnya kita mempelajari sejarah. Apakah yang dimaksud dengan sejarah ? Apa manfaat yang bisa kita dapat dari belajar sejarah ?
Salah satu definisi Sejarah adalah, tempat untuk menguji sebuah ide. Meminjam kata-kata Lord Henry Bolingbroke (1678 – 1751 kalender umum) : “Sejarah adalah filsafat yang disertai dengan contoh”. Kita bisa saja membicarakan ide-ide dan teori-teori, tetapi waktulah yang membuktikan dan menguji ide-ide atau teori-teori mana saja yang terbukti benar, atau terbukti salah. Contohnya : seratus tahun yang lalu, paham komunis dan paham kapitalis saat itu masih berdebat mengenai sistem mana yang akan menguasai dunia. Tetapi sejarah membuktikan bahwa komunis runtuh, dan kapitalis terus berkembang.
Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita tarik dari sejarah. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Amerika asal Spanyol, George Santayana : “Mereka yang tidak ingat apa yang terjadi di masa lampau, ditakdirkan untuk mengulanginya”.
Jadi alasan dasar mengapa perlu belajar sejarah, secara umum adalah, karena manusia selalu sama. Kerajaan bangkit dan runtuh, teknologi mungkin berubah, kenyataan geografis dan politis dunia ini juga mungkin berubah, tetapi dari semua perubahan itu, manusia tetap saja bertendensi melakukan hal-hal bodoh berulang-ulang. Kecuali kita belajar dari masa lalu, mengingatnya, menarik pelajaran dari situ, dan terapkan itu dalam menjalani hidup.
TEMA KHUSUS
Tema ini (yang dijelaskan diatas) juga berlaku dalam sejarah Yahudi. Torah mengajarkan
Ingatlah akan hari-hari yang lampau; pahamilah tahun-tahun dari generasi ke generasi. Tanya kepada bapamu, maka dia akan menjelaskannya, kepada para tetua-mu, maka mereka akan memberitahukan. (Ulangan 32:7)
Selain itu, Yudaisme juga memperkenalkan sebuah konsep dalam sejarah manusia yang revolusioner di semua aspek kehidupan, khususnya aspek moralitas dan kepercayaan — yaitu ide mengenai Tuhan yang tak terbatas, yang bertindak (melakukan sesuatu) dalam sejarah.
Pemahaman Yahudi tentang Tuhan adalah : Sang Pencipta, Sang Penjaga dan Pengawas, yang artinya bukan jenis “tuhan” yang setelah menciptakan, dia pergi berlibur ke Miami, tetapi sebuah pribadi yang maha tidak terbatas, tetapi terlibat aktif dalam penciptaan dan hasil ciptaanNya. Dengan kata lain, jagat-raya ini tidak akan bisa berdiri sendiri dan bertahan, jika Tuhan tidak menghendakinya untuk tetap ada dan bertahan.
Sebelum kita melihat lebih dalam kedalam sejarah Yahudi, kita harus memahami dahulu gambaran besar, atau kerangka dasar dari plot (alur) dan waktu dalam sejarah.
PERMULAAN SEJARAH
Kita mulai penghitungan tahun pertama (tahun 1) kalender Yahudi, dari penciptaan Adam, yang adalah puncak dari segi jasmani dan rohani dari seluruh penciptaan dunia ini.
Sebagaimana dicatat dalam kitab Kejadian, Adam diciptakan di hari ke-enam dalam proses penciptaan, itu terjadi kira2 lebih dari 5760 tahun yang lalu. (Tahun 2000 di kalender umum adalah tahun 5760 kalender Ibrani).
Adam adalah ciptaan yang unik dibandingkan dengan ciptaan lainnya, menempati bumi, bukan hanya karena dia harus membesarkan keturunan-keturunannya, tetapi karena Adam diciptakan b’tzelem elohim ‘menurut gambar Elohim / in the image of Elohim’. (Kejadian 1:26). Ini artinya, dia memiliki jiwa — neshama — sebuah esensi intelektual yang lebih tinggi. Percikan ilahi (neshama) ini adalah esensi seperti-Tuhan (unsur Tuhan) yang dimiliki oleh seluruh manusia.
Setelah Adam selesai diciptakan, Lalu Tuhan melepaskan “jam tanganNya yang mengatur seluruh alam semesta” dan memberikannya kepada Adam seraya berkata : “Sekarang kita gunakan waktu bumi” dimana : hari adalah satu kali perputaran bumi pada sumbunya, satu tahun adalah satu kali putaran bumi mengelilingi matahari, dan sebagainya. Menurut kronologi Yahudi, Tuhan melepaskan “jam tanganNya” lebih dari 5760 tahun yang lalu (dihitung dari tahun 2000 kalender umum).
Ada pelajaran besar yang berakar dari konsep tahun Yahudi yang dimulai dari selesainya penciptaan Adam. Sama seperti sutradara film yang mulai menjalankan kameranya begitu sang aktor utama mulai muncul dalam panggung yang sudah disediakan (walaupun mungkin penyiapan panggung dan lokasi shooting lainnya membuthkan waktu bertahun-tahun), demikianlah Tuhan, mulai meng-aktifkan waktu bumi, begitu Adam muncul di planet bumi. Pelajaran yang bisa kita petik dari sini adalah bahwa fokus dari seluruh ciptaan ini adalah Manusia. Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini untuk manusia. Jika demikian, maka pertanyaan besarnya adalah : “mengapa kita ada disini, di planet ini, dan apa sebenarnya tujuan dari semua penciptaan ini ?”.
Banyak yang berpendapat bahwa Tuhan membutuhkan kita, sehingga Tuhan menciptakan kita, agar kita bisa melayaniNya. Pandangan ini bukanlah konsep Yahudi mengenai penciptaan. Jika tuhan itu tidak terbatas, maka Dia tidak memiliki keinginan atau kebutuhan. Dia tidak kekurangan suatu apapun juga, dan tidak ada satupun yang bisa kita lakukan untuk memuaskanNya, karena Dia tidak butuh apapun. Jadi kembali ke pertanyaan tadi, “Untuk apa kita diciptakan ?”.
Salah satu konsep dasar Yahudi yaitu, ketika Tuhan menciptakan kita, Dia juga menganugerahkan anugerah terbesar bagi kita, yaitu : hubungan langsung denganNya, bahasa Ibraninya adalah -dvekut- yang artinya melekat. Hubungan dengan Tuhan adalah bentuk hubungan yang paling tinggi, yang selalu dirindukan oleh jiwa kita, manusia. Setiap kenikmatan yang kita alami, dan setiap hubungan baik yang kita miliki di dunia ini, hanyalah setitik kecil jika dibandingkan dengan hubungan paling hakiki antara jiwa kita dengan Sang Pencipta. (Rabbi Moshe Chaim Luzzatto , Derech Hashem I:2:1)
Itulah (hubungan langsung antara manusia dengan Hashem) intisari dari Taman Eden sebenarnya. Bukan seperti yang dibayangkan dan digambarkan oleh banyak orang sebagai sebuah taman tropis yang mewah dan indah. Sebuah kondisi ideal secara fisik dan spiritual, dimana manusia terbebas dari segala hal yang mengganggunya : tagihan tagihan, keperluan belanja, dan yang lainnya, dan hanya berfokus untuk mencapai tujuan sejati dari penciptaan itu sendiri, yaitu : “menaikkan” diri kita sendiri dan sekeliling kita kepada tingkat yang paling tinggi dalam hal hubungan dengan Tuhan.
Sampai disini, alur dari sejarah manusia sangat jelas dan sederhana : Tuhan menempatkan manusia di dalam lingkungan yang sempurna, manusia bebas melakukan apa saja yang memang sudah menjadi bagian dari penciptaan manusia. Manusia akan menghabiskan waktu di dalam taman itu, menyempurnakan ciptaan, dan terus membangun hubungan dengan Tuhan.
Tetapi sayangnya, sesuatu yang buruk terjadi. Dimulai dari peristiwa Adam dan Hawa yang makan buah dari pohon pengetahuan, hubungan itu mulai rusak. Pada kondisi itu, manusia menemukan fakta bahwa terlalu sulit untuk terus menjaga hubungan dengan Tuhan yang tidak terlihat, seperti sebelum terjadinya tragedi. Manusia mulai berfikir bahwa dengan menunjukkan hormat kepada beberapa kekuatan alam ciptaan Tuhan yang bisa dikenali oleh panca-indra, itu merupakan bentuk penghormatan secara tidak langsung kepada Tuhan. Apa yang terjadi kemudian setelah selang beberapa generasi selanjutnya, penyembahan kepada Tuhan sudah digantikan dengan menyembah alam, seperti : matahari, bulan, pepohonan, dll. Tuhan dilupakan, sebagai gantinya penyembahan berhala dipraktekkan oleh semua orang. Tujuan utama penciptaan hilang begitu saja. Hancurnya hubungan antara manusia dengan Tuhan inilah yang menjadi kategori pertama sejarah manusia yang ditulis dalam kitab suci (Bereishit Rabbah 23:10, Misnah Torah – Hukum penyembahan berhala 1:1).
Kitab suci menjelaskan bagaimana keterpurukan spriritual ini berlangsung selama sekitar 1500 tahun, sampai kepada kisah mengenai air bah besar. Alur dasar dari cerita awal sejarah manusia ini sangat gamblang : Tujuan dari penciptaan adalah hubungan dengan Tuhan, Hubungan itu sudah rusak dan hilang sedemikian rupa, sehingga Tuhan memutuskan untuk “membersihkan” dunia ini, menyisakan hanya Nuh (yang satu-satunya masih memelihara hubungan dengan Tuhan). Harapannya adalah, Nuh akan kembali memenuhi bumi dan mulai membangun kembali hubungan yang hilang itu. Tetap tidak berhasil juga, manusia terus terpuruk sampai peristiwa menara Babel. Fokus dari cerita itu adalah : manusia bersatu untuk alasan yang salah, yaitu untuk memberontak kepada Tuhan (Talmud, Sanhedrin 109a). Sampai titik ini di kitab Kejadian, segala sesuatunya tidak berjalan baik bagi manusia. Kelihatannya Tuhan sudah tidak memiliki pilihan lain, selain menghancurkan dunia ini, dan mulai lagi dari nol. Tetapi ketika semuanya itu seperti tidak ada harapan, muncullah satu orang yang mengubah sejarah.
MISI ABRAHAM
Abraham layak menyandang predikat : besar, karena dua hal : Di dalam dunia yang nyaris seluruh manusianya (saat itu) adalah penyembah berhala jamak (polytheistic), dunia yang bisa dikatakan sudah tidak memiliki hubungan dengan Penciptanya sendiri, Abraham dengan hanya bermodalkan kemampuan berfikirnya, inteleknya, berhasil memilih dan bisa melihat kenyataan bahwa sebenarnya hanya ada satu Tuhan. Ketika kita pertama bertemu dengan Abraham di kitab Kejadian (Kejadian 12:1), dia sudah berumur 75 tahun. Mungkin inilah saat pertama kali Tuhan berbicara kepadanya ! Artinya, sampai usianya mencapai 75 tahun itu, Abraham menghidupi kehidupannya tanpa bantuan profetis, tanpa konfirmasi apapun diluar dirinya sendiri, bahwa ideologi monotheisme yang dia pegang teguh itu, adalah ideologi yang benar, disinilah kita bisa melihat bagaimana dedikasi Abraham terhadap kebenaran. (Talmud Nedarim 32a)
Abraham adalah pencari kebenaran sejati. Bisakah kita bayangkan, berdiri sendiri dengan konsep yang tidak dimengerti dan diterima oleh seluruh dunia ? Diantar kita, bahkan tidak akan ada yang berani untuk sekedar menantang teman kita untuk mengalami apa yang Abraham alami dalam hidupnya.
Ini membawa kita kepada kebesaran Abraham yang kedua, yaitu : Dia tidak peduli dengan pendapat dan pikrian orang lain. Dia berkata “Saya memilih untuk mendedikasikan hidup saya kepada tujuan sejati, yaitu membawa umat manusia kembali kepada tujuan awal penciptaan, yaitu mengembalikan hubungan dengan Sang Pencipta”. Dia bahkan rela mengorbankan hidupnya bagi Tuhan. Bukan karena Tuhan membutuhkan ada orang yang mati baginya, seperti tumbal atau sejenisnya (ingat bahwa Tuhan itu tidak terbatas, kita tidak bisa melakukan apapun untuk memuaskanNya), tetapi karena Abraham mengerti, tanpa hubungan dengan Sang Pencipta, maka umat manusia pasti binasa. Dua hal inilah yang memberikan petunjuk kepada kita mengenai kebesaran Abraham dan idealismenya. Dia tidak takut untuk berdiri “di sisi yang lain” — dan inilah arti dari kata Ivri — Ibrani (Bereishit Rabbah 42:13). Dia berdiri di sisi seberang, sendiri melawan arus dunia.
Apa yang baru kita bahas diatas juga menjelaskan konsep “Umat Pilihan”. Bisa kita bayangkan demikian, Abraham berkata kepada Tuhan : “Aku memilih untuk hidup dalam kenyataanMu Tuhan, dan membawa umat manusia kembali kepada kenyataan itu”. Lalu Tuhan menjawab Abraham : “Jika begitu, maka Aku memilihmu, dan keturunanmu”. Untuk apa bangsa Yahudi dipilih ? bukan untuk menerima keistimewaan (walaupun adalah sebuah kehormatan besar untuk menjadi Yahudi)m, tetapi dipilih untuk sebuah tanggung-jawab. Tanggung jawab apa ? Dalam bahasa Ibrani, tanggung jawab itu adalah Tikkun Olam — Memperbaiki dunia–. Ini adalah misi yang sejati itu — yaitu membawa umat manusia kembali kepada tujuan awal dari penciptaan, dan menciptakan dunia yang sempurna secara moral dan spiritual. Ini adalah misi nasional dan bersejarah bagi bangsa Yahudi.
Sekarang, jika kita mengeri tujuan dari penciptaan dan Misinya Abraham, maka sisa dari alur sejarah umat manusia selanjutnya menjadi sangat gamblang : Umat manusia kembali kepada Tuhan, dipimpin oleh umat Yahudi.
Dan jika kita mengerti konsep : Umat Yahudi yang memimpin kembalinya umat manusia kepada Tuhan, maka apa yang terjadi kepada umat Yahudi sepanjang sejarah mulai bisa dipahami dan masuk akal. Ketika kita berkata bahwa umat Yahudi yang memimpin, berarti mereka ada di garis paling depan, seperti seorang prajurit ujung tombak dari sebuah pasukan infantri yang sedang berpatroli. Tugas dari prajurit ujung tombak ini adalah memimpin seluruh pasukan untuk menghindari jebakan dan bahaya, demikianlah peran dan tugas umat Yahudi. Sama seperti prajurit ujung tombak ini menghadapi bahaya yang lebih besar karena ada di paling depan dengan tanggung jawab extra, demikianlah umat Yahudi, yang selalu mengalami tantangan-tantangan dan bahaya yang unik sepanjang sejarah. Dengan mengerti analogi yang barusaja dijelaskan, maka kita bisa mengerti ada apa dibalik anti-semitisme dan standard-ganda yang menimpa Israel dan bangsa Yahudi. Karena Israel telah memilih bagi mereka sendiri tanggung jawab unik ini, yang konsekuensinya adalah : mereka tidak akan pernah bisa menjadi seperti bangsa-bangsa lain. Bileam memberikan keterangan yang terbaik mengenai bangsa Israel : “sebuah bangsa yang berdiam sendiri (terpisah), dan tidak masuk hitungan dengan bangsa-bangsa lain”. (Bilangan 23:9)
Jika kita gambarkan dalam bentuk grafik, sejarah perjalanan umat manusia yang dipimpim oleh bangsa Yahudi, grafik itu akan terlihat seperti grafik pergerakan saham Wall-Street. Ada banyak lonjakan naik yang tajam, dan tidak kalah banyaknya juga turunan tajam, tetapi trend-nya adalah peningkatan signifikan. Demikian juga dengan kisah bangsa Yahudi, 3700 tahun yang lalu, boleh dikatakan bahwa Abraham adalah satu-satunya orang yang percaya Tuhan. Sekarang ada miliaran manusia, umat Kristen dan Islam yang kepercayaannya berlandaskan Yudaisme. Perjalanan masih panjang, tetapi umat manusia sudah berubah dengan radikal, karena ideologi yang diperkenalkan Abraham 3700 tahun yang lalu.
Masa Yahudi
Pemahaman tradisional Yahudi mengenai perjalanan sejarah manusia, ada di dalam Talmud, traktat Sanhedrin 97a, yang menjelaskan kerangka periode sejarah :
Dunia ini akan ada selama enam ribu tahun lamanya. Dua ribu tahun pertama adalah masa kesedihan dan ketandusan. Dua ribu tahun berikutnya Torah berkembang, dan dua ribu tahun terakhir adalah jaman mesianik…
Enam ribu tahun yang dimaksudkan Talmud, tidak dimulai dari penciptaan jagat raya ini, tetapi mulai dari penciptaan Adam, dan mencerminkan siklus mingguan. Sama seperti penghitungan minggu bangsa Yahudi yang dimulai dari hari minggu sampai dengan hari Jumat (6 hari), demikian juga sejarah umat manusia, akan berlangsung selama enam milenia (enam ribu tahun). Di akhir siklus mingguan ini, bangsa Yahudi memasuki Shabbat, sebuah hari yang sangat spiritual dan hari peristirahatan, demikian juga sejarah umat manusia, setelah mencapai maksimum 6000 tahun, seluruh umat manusia akan memasuki milenium ketujuh yang dikenal dengan istilah “Dunia Yang Akan Datang”, dalam bahasa Ibrani : “Olam Haba”. Olam Haba ini sama dengan Taman Eden yang merupakan puncak dari proses kembalinya hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta, dan proses penyempurnaan dunia ini –– Tikkun Olam–. Derekh Hashem 1:3:4).
Jika kita gabungkan dengan penjelasan talmud, bahwa 6000 tahun itu dibagi menjadi periode per 2000 tahun, maka kita akan mendapatkan, 2000 tahun pertama dari Adam sampai menara Babel itu yang disebut periode kesedihan dan ketandusan (Desolation). Tema besar periode ini adalah : Umat manusia mengalami kesedihan dan kekeringan rohani (spiritual), dan boleh dikatakan tidak memiliki hubungan dengan Tuhan.
Periode 2000 tahun kedua, dari Arbraham sampai kepada penyelesaian Misnah (tahun 240 Kalender Umum), disebut Torah. Tema besar dari periode ini adalah : Sejarah nasional bangsa Yahudi di tanah Israel, dan berkembangnya Torah (Hukum yang terutama dan utama).
Periode 2000 tahun terakhir, dimulai dari tahun 240 kalender umum, sampai tahun 2240 (tahun ibrani 6000), disebut Messiah. Tema besar periode ini adalah : Kembalinya umat manusia kepada Tuhan, dipimpin oleh bangsa Israel. Di penghujung periode ini, tetapi sebelum tahun ibrani 6000, ada periode mesianik, yang adalah persiapan akhir yang harus dijalani umat manusia sebelum masuk ke dalam “Dunia Yang Akan Datang — Olam Haba”.
Jadi dimana posisi kita sekarang dalam kronologis sejarah umat manusia ? Kita sekarang berada di penghujung dari periode 2000 tahun terakhir (Messiah), di penghujung milenium keenam, hari Jumat sore, matahari hampir terbenam, sudah menjelang Shabbat. Dalam perspektif Yahudi, umat manusia sudah mencapai penghujung dan sedang dengan cepat menuju bab terakhir dari sejarah manusia, sebelum mencapai penebusan terakhir.
SIKLUS DALAM SEJARAH
Konsekuensi penting lainnya bagi pemahaman Yahudi tentang Tuhan adalah konsep siklus dalam sejarah. Selama ribuan tahun, konsep yunani kuno mengenai waktu dipercaya banyak orang, konsepnya : waktu itu senantiasa ada, dan terus berjalan. Tidak ada awalnya, dan juga tidak berujung, analoginya seperti orang yang berlari di treadmill, bekerja keras, tapi tidak beranjak kemana-mana. Konsep Yunani kuno (dan juga konsep pagan lainnya), percaya bahwa para dewa menciptakan manusia untuk melayaninya. Manusia itu seperti dempul tak berharga di tangan mereka, dan tidak memiliki kontrol atas nasib sendiri (konsep fatalisme).
Konsep Yahudi mengenai takdir/nasib dan sejarah begitu kontras bedanya, jika digambarkan akan seperti slinky raksasa yang terbuka dan mengarah keatas. Bentuk spiral seperti ini menggambarkan konsep pengulangan, bukan konsep statis/linear. Dengan konsep ini juga, bangsa Yahudi memahami siklus baik itu hari raya, maupun sejarah. Sementara perayaan yang dilakukan bangsa-bangsa lain adalah murni pengingat kejadian besar yang terjadi di masa lampau, Bagi bangsa Yahudi, perayaan hari raya tidak hanya sekedar mengingat peristiwa besar itu, tetapi juga sekaligus terbukanya kesempatan baru di hadapannya.
Contohnya adalah perayaan Pesakh (Paskah), yang jatuh di bulan Nisan, Bulan Nisan adalah bulan dimana pembebasan terjadi. Ketika bangsa Yahudi merayakan Pesakh, dengan mengingat apa yang sudah dilakukan Tuhan dimasa Pesakh pertama dan Exodus, sekaligus juga percaya bahwa Tuhan akan melakukan pembebasan bagi diri pribadi, maupun bangsa Yahudi di bulan Nisan ini.
Inilah alasan penting mengapa kita perlu mempelajari dan mengeri sejarah Yahudi. Seperti yang dikatakan oleh Nachmanides, Rabbi dan intelek besar Yahudi di abad ke-13 : “Tindakan dari para leluhur, itu seperti tanda bagi keturunannya”.
Apa artinya ? Di level mikro-kosmik (individu manusia), dalam kitab Kejadian kita membaca, bahwa apa yang terjadi/dialami oleh para pelaku sebelumnya, diulangi oleh keturunannya.
Dalam level makro-kosmik, kepribadian dan interaksi dari para leluhur (patriakh dan matriakh), itulah yang menjadi model bagi apa yang akan dialami oleh bangsa Yahudi, dan seluruh umat manusia. Inilah alasan mengapa kita perlu memperhatikan dengan seksama, apa yang ada di bagian awal kitab suci, karena di bagian inilah pola itu terbentuk. Dibagian awal kitab suci terdapat peta, dan tuntunan bagi masa depan. Nasib dan jalan hidup bangsa Yahudi, kekuatan mereka, kelemahannya, dan hubungannya dengan bangsa-bangsa lain, semua itu diungkap dalam bagian awal sejarah bangsa Yahudi. Sejarah Yahudi sama dengan Jalan Hidup bangsa Yahudi, belajar dari sejarah adalah kunci untuk membuat keputusan bijak bagi masa yang akan datang.
Inilah yang akan menjadi fokus pembahasan kita dalam serial selanjutnya.